Sinopsis Cerpen "al-Hawiyah" (Jurang) Karya Mustafa Lutfi Al-Manfaluti
Cerita pendek berjudul "al-Hāwiyah" merupakan salah satu kisah tragedi dari antologi berjudul al-‘Abarāt (air mata) karya seorang sastrawan dan penyair modern Mesir, Mustafa Lutfi al-Manfaluti. Cerita ini mengandung pelajaran hidup tentang arti sebuah persahabatan, tanggung jawab, dan kesetiaan.
Kisah tragis ini bermula dari seorang lelaki yang digambarkan oleh pengarang dengan sudut pandang orang pertama, yaitu “Aku”. Sosok “Aku” tersebut menghabiskan separuh pertama usianya untuk mencari seorang teman sejati, seorang yang tidak memandang materi sebagai motif pertemanan yang prospektif.
Selama 18 tahun, lelaki itu terus berusaha menemukan sosok teman sejati hingga akhirnya ia mengenal seorang teman, sebut saja Fulan. Menurut pandangannya, Fulan merupakan teman yang sangat baik dan sempurna. Mereka berdua pun saling bersahabat dan mencintai dalam persahabatan.
Suatu ketika, sebuah kondisi memaksa si “Aku” harus meninggalkan Kairo dan pulang ke kampung halamannya. Ia amat sedih karena terpaksa berpisah dengan sahabatnya tersebut. Selama beberapa waktu berjalan, mereka saling berkirim surat. Kemudian, kian lama ia kian jarang mendapat balasan dari Fulan hingga akhirnya mereka tak pernah berkirim surat lagi sama sekali. Hal ini membuatnya sangat sedih dan frustrasi. Sempat beberapa kali ia berniat untuk mengunjungi Fulan, namun ia terus mengurungkan niatnya.
Selang beberapa tahun kemudian, ia pun mengunjungi Kairo kembali. Saat itu pukul satu malam, ia langsung menuju rumah Fulan. Sesampainya di sana, ia terkejut keheranan karena mendapati rumah yang dulu ia tinggali bersama sahabatnya itu kini tak terurus, sepi dan gelap. Saking tak terurusnya, ia bahkan mengira jika ia salah alamat atau rumah itu sudah tak ditinggali lagi.
Hingga akhirnya ia mendengar suara tangisan anak kecil dari dalam rumah tersebut yang ternyata tak lain adalah anak sahabatnya, Fulan. Ia pun masuk dan menemui anak itu beserta ibunya, lalu menanyakan perihal yang terjadi kepada mereka. Istri Fulan pun menceritakan semua yang telah menimpa suaminya dan keluarganya kepada si “Aku”.
Istri Fulan bercerita, tujuh tahun yang lalu semenjak si “Aku” pergi meninggalkan Kairo, Fulan dan keluarganya baik-baik saja. Mereka hidup tenteram dan bahagia. Semuanya berubah semenjak Fulan bertemu dan berhubungan dengan bos kantornya. Ia pun menjadi terikat dengan majikannya tersebut dan selalu mengikuti ke mana saja bosnya pergi. Fulan menjadi jarang pulang dan berkumpul bersama istri beserta kedua anaknya.
Hingga pada suatu malam, Fulan pulang ke rumahnya sambil mengeluh sakit pada tenggorokan dan sekujur tubuhnya. Setelah ditelusuri, ternyata Fulan baru saja mabuk-mabukan. Bos yang selama ini menjadi panutan Fulan yang miskin justru menjerumuskannya kepada minuman keras dan perjudian.
Kebiasaan mabuk dan berjudi Fulan ini terus berlanjut hingga beberapa tahun dan semakin parah. Fulan telah menghabiskan semua harta yang ia miliki untuk membeli minuman keras dan berjudi, termasuk rumahnya tersebut.
Keesokan paginya, sebelum Fulan berangkat ke kantor, si “Aku” menemui Fulan di rumahnya untuk menasihatinya agar memperbaiki kebiasaan buruknya tersebut dan mulai memperhatikan keluarganya. Si “Aku” juga mengajak Fulan untuk berjanji agar mengakhiri semua penderitaan yang ia timpakan kepada anak dan istrinya. Namun Fulan yang sudah terlanjur putus asa pun menolak ajakan sahabatnya itu.
Setelah berbicara panjang lebar, Fulan pun pergi meninggalkan si “Aku”. Kondisi tersebut pun terus berlanjut hingga beberapa masa. Istri dan kedua anak Fulan hanya bisa bersabar atas penderitaan dan kesengsaraan yang mereka alami. Demi bertahan hidup, kedua anaknya bahkan harus menjadi pembantu di rumah-rumah orang lain, sementara istri Fulan sudah lemah dan tak berdaya.
Hingga pada suatu ketika, diketahui bahwa istri Fulan mengandung anak ketiga. Dengan kondisi ekonomi yang hancur lebur ditambah dengan beban kandungan anak ketiga membuat istri Fulan semakin menderita dan tak berdaya.
Hingga pada akhirnya, tibalah saat bersalin sang Istri. Hanya ditemani tetangganya yang sudah tua renta, istri Fulan pun melahirkan anak ketiga di rumah itu. Setelah proses bersalin yang menyakitkan, istri Fulan pun demam tinggi dan sakit keras. Hingga pada akhirnya, istri Fulan meninggal dunia seorang diri sambil memangku anak perempuannya yang masih bayi.
Sesaat kemudian, Fulan pulang ke rumah dalam keadaan kacau dan gelisah sambil mencari minuman. Ketika ia mendapati istrinya tergeletak di tikar, ia memindahkan bayi perempuannya tersebut dan membangunkan istrinya. Setelah sadar bahwa istrinya telah meninggal dunia, ia pun gemetar ketakutan.
Tanpa sadar, ia berjalan mundur dan menginjak dada bayi perempuannya tersebut yang menyebabkan ia mati seketika. Fulan lantas menjerit histeris dan berlari ke jalanan lalu membenturkan kepalanya ke tiang dan dinding sambil meratap hingga akhirnya jatuh pingsan.
Orang-orang yang melihatnya merasa kasihan. Bukan karena mereka tahu apa yang terjadi, melainkan karena gurat kesedihan dan kesengsaraan yang terpancar jelas pada wajah Fulan. Selang beberapa jam setelah siuman, Fulan ditemukan gantung diri di salah satu ruangan di Bimaristan, yaitu rumah sakit di dunia Islam yang bersejarah.
Ditulis oleh: Tafkur Bahril Wahid
Tidak ada komentar