Seorang penyair Gaza, Nashir Rabah telah merilis lima koleksi puisi dan dua novelnya. Dia selalu berusaha memastikan bahwa karya sastranya memiliki ciri khas tersendiri dan terlepas dari pengaruh para penyair Palestina sebelumnya. Nashir Rabah sangat teliti dalam pemilihan diksi dalam penulisan karya sastranya agar tidak meniru ciri khas penyair sebelumnya seperti Mahmoud Darwish yang memiliki ciri khas tersendiri yang melekat pada dihati para penikmat sastra.
Lima puisi Nashir Rabah yang telah terbit berjudul Martsiyyatu
li Thāiri al-Hannāi (Elegi Seekor Burung Robin), Wāhidun min lā Ahadin
(Satu yang Tiada Duanya), Al-Rakdlu Khalfa Ghazālin Mayyitin (Berlari
Mengejar Rusa yang Mati), 'Ābirūna bi Tsiyābin Khafīfatin (Mereka yang
Berpakaian Tipis), dan Mā'un 'Athisyun li Mā'in (Air yang Kehausan).
Sedangkan dua novelnya berjudul Siyāju al-Ghazālah (Pagar seekor Rusa) dan
Mundzu Sā'atin Taqrīban (Sejak Satu Jam yang Lalu).
Nashir Rabah berpindah dari puisi lama yang cirikhasnya berirama (Syi’ru
al Jahili) menjadi puisi bebas yang tidak terikat wazan (Syi’ru al Hur). Ia
juga berusaha mencerminkan realita pahit yang terjadi di Gaza. Saat perang
tengah bergejolak, ia menulis dalam salah satu puisinya:
"صوتُ
الطائرات طوال الليل ذهب جُفاء، ونحاس طلقاتها الفارغة بادلهُ الأطفال بطائرة
ورقيّة. صوت الطائرات ذهب جُفاء، وأمّا المنزل المهدوم على أهله، فيمكث في الأرض،
ينفع الناس في غد تعلو فيه البيوت الجميلة، والشُرفات الجميلة، ويخلو من الطائرات".
"Suara pesawat sepanjang malam sia-sia, peluru kosongnya
ditukar anak-anak dengan layang-layang. Suara pesawat sia-sia, tetapi rumah
yang hancur tetap di tanah, memberi manfaat bagi orang-orang di masa depan yang
akan memiliki rumah dan balkon yang indah, tanpa pesawat."
Nashir Rabah menyatakan bahwa setiap momen kehidupan penduduk Gaza
sekarang adalah momen menulis dan momen sejarah. Setiap adegan yang ia lihat
selama beberapa bulan terakhir adalah adegan langka yang tidak akan terulang.
Rentetan peristiwa yang terjadi dari pagi sampai malam berisi tentang
penderitaan manusia, kesulitan, tantangan, perjuangan, kehancuran, dan
kekecewaan.
Nashir Rabah menambahkan bahwa esensi menulis puisi saat ini adalah
kewajiban moral untuk menceritakan kisah penuh perjuangan air mata, darah, dan
jeritan pilu dari korban perang yang Tengah bergejolak. Jika bukan anak bangsa
yang menuliskan kejadian ini sebagai saksi sejarah lantas siapa lagi yang akan mengabadikannya?
Gambaran tentang bagaimana Nashir Rabah mengalami langsung rentetan
kisah yang ia alami seperti menghabiskan harinya berpindah dari antrian roti ke
antrian air demi memenuhi kebutuhannya, mengumpulkan kayu untuk memasak,
menghindari tempat-tempat berbahaya, membersihkan tempat-tempat yang hancur dan
membangun impian di tenda-tenda pengungsian. Bagaimana mungkin Nashir Rabah
dapat tidur di Gaza sementara suara drone yang terus mengintai dan ledakan seringkali
terjadi disekelilingnya? Pengamatannya di Gaza adalah lautan yang luas, sedangkan
menulis adalah ikan kecilnya.
Gaza bisajadi tidak menang secara militer, tetapi darah rakyatnya memaksa
dunia untuk berteriak mendukung perjuangan mereka. Darah yang mereka korbankan
bisajadi berlebihan tetapi hal tersebut memaksa orang lain untuk memberikan
dukungan dari tempat yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya seperti
solidaritas dari berbagai negara di belahan dunia, demonstrasi di London dan
Paris, dan politisi negara besar yang berseru memperjuangkan keadilan untuk
Palestina.
Perang dan Puisi
Nashir Rabah mengungkap bahwa menulis novel pada saat-saat seperti
ini adalah klaim naif karena tidak dapat menggambarkan panasnya gejolak perang
yang terjadi. Menulis novel adalah hobi dan kesenangan, sedangkan kesenangan
tidak akan tercapai di tengah kegelisahan dan kebisingan perang sehari-hari.
Namun, Nashir Rabah telah dipenuhi oleh hasrat besar untuk bercerita dan
menuangkan isi pikirannya kedalam karya-karyanya.
Oleh karena itu, menulis puisi di tengah perang dianggap lebih
tepat dibandingkan menulis novel karena puisi mampu menangkap dan
mengekspresikan emosi serta situasi yang intens secara langsung dan kuat. Puisi
memungkinkan pesan dan perasaan disampaikan dengan cepat, sesuai dengan
keterbatasan waktu dan konsentrasi di tengah konflik. Sifat puitis yang
mendalam juga memberikan keindahan dan kekuatan, menjadikan puisi sebagai musik
latar yang menemani rasa sakit, jeritan, dan denyut heroisme, memberikan harapan
dan makna di tengah penderitaan. Dalam kondisi perang, di mana setiap detik dan
perasaan begitu mendesak, puisi menjadi bentuk ekspresi yang lebih relevan dan
efektif dibandingkan novel.
Perang Besar Menciptakan Puisi yang Indah
Nashir Rabah melihat banyak puisi di laman rekan-rekannya,
kehadiran puisi ini tentu saja tak disangka yang sebelumnya. Mungkin mereka
sendiri terkejut dengan kemampuan yang mereka miliki. Rasa sakit yang begitu
dalam menghasilkan diksi-diksi langka dan murni, bebas dari omong kosong,
bahkan menciptakan imajinasi liar. Diantara teman Nashir ada yang menulis
tentang peluru yang menembus langit sehingga terjadi hujan darah, sementara
yang lain menulis tentang anak yang membasahi tempat amputasinya, berharap kakinya
akan tumbuh lagi. Singkatnya, mereka tidak mungkin menghasilkan seni yang buruk
untuk mengekspresikan kejadian yang begitu kompleks. Peperangan memang
menghasilkan rentetan peristiwa mengerikan, tetapi tanpa disadari menghasilkan
puisi yang indah dan penyair yang hebat.
Tambang Kreativitas
Gaza adalah sebuah tambang yang belum digali oleh para penyair dan
penulis novel. Di sini, penyair maupun penulis memiliki banyak alasan untuk
bangga dengan keyakinan yang tinggi. Meskipun terkekang oleh pengepungan yang
menghambat sumber daya kreativitas dan produksi sastra, mereka tetap memiliki
kemampuan luar biasa untuk menciptakan karya-karya indah dan menghasilkan
keajaiban. Gaza seringkali dicitrakan berdasarkan stereotip korban, namun
penting untuk memecah stereotip ini dan mengungkap potensi luar biasa yang
tersembunyi di balik kekacauan perang ini.
Dalam beberapa hal, tulisan-tulisan yang dibagikan dimedia sosial
telah membantu memperkenalkan lebih banyak pembaca dari luar Palestina yang
sebelumnya tidak akrab dengan karya-karya para penyair maupun penulis dari
Gaza.
Kutipan Puisi Nashir Rabah:
"كيف
أسامحني وأنا تركتك في الزحام؟ السماء تمطر حديدا، والأرض مثل سجادة قديمة ينفض
عنها الغبار. في الزحام كانت المشفى بعيدة، والسماء تواصل هذيانها، والمشفى بعيدة.
ذهب الأزرق والأخضر، ولم يبق في عيني غير الرماد، والزحام يخرج الشارع عن رزانته
فيسكر، وينوح: أنا غابة الموتى. عاد الشحاذون إليه، فوجدوه ضريرا، وأنا عدت لأبحث
عن عيوني، فلم أجدها.
كيف أسامحني، والمشفى
بعيدة؟ عاد البكاء إلى بيته فلم يجده، عاد إلى ليله فلم يجده، وجاءني، شربنا نهارا
آخر، وبلادا كثيرة، وقلنا: يا ذكريات كوني جميلة، فلم تكن، قلنا للشبابيك لا تجرحي
عصافير القصائد، كانت البيوت جريحة، مدينة تفتش عن نفسها في الزحام، وأنا أجالس
موتها، وكانت المشفى بعيدة."
"Bagaimana bisa aku memaafkan diriku saat aku meninggalkanmu
di keramaian? Langit turun seperti hujan besi, dan tanah seperti karpet tua
yang tergores debu. Di tengah keramaian, rumah sakit terasa jauh, sedang langit
masih bergumam, dan rumah sakit itu jauh. Biru dan hijau telah pergi, dan hanya
abu yang tinggal di mataku, keramaian membuat jalan menjadi lebih gelap, dan
dia berteriak: Aku adalah hutan mati. Peminta-minta kembali padanya, hanya
untuk menemukan dia buta, dan aku kembali mencari mataku, tapi aku tidak
menemukannya.
Bagaimana bisa aku memaafkan diriku, sedangkan rumah sakit terasa jauh? Tangis kembali ke rumahnya tapi tidak menemukannya, kembali ke malamnya tapi tidak menemukannya, dan dia datang padaku, kita minum bersama di hari terakhir dengan banyak negera, dan kita berkata: Hai, kenangan, jadilah indah, tapi tidak, kita katakan pada jendela jangan sakiti burung-burung kecil yang berpuisi, rumah-rumah pun terluka, kota mencari dirinya sendiri di keramaian, dan aku duduk dengan kematiannya, dan rumah sakit itu masih jauh."
Oleh: Ade Surya Prabandari Putri
Tidak ada komentar